Jumat, 11 Desember 2009



De Maccasare Zee Rovers

(Bajak laut dari Makassar)

Selamat Tinggal Mahasiswa Jakarta


Di Makassar anak muda tidak pernah menjadi tua. Dengan kesadaran penuh mereka mengerti bahwa orde ketertiban hanyalah kerangkeng kelas yang memenjarakan anak-anak muda. Mereka senantiasa bergemuruh, penuh semangat dan tiada henti memaki kekuasaan. Di Makassar, kampus-kampus masih milik anak muda berlapis kelas, beragam latar belakang dan berjenis-jenis manusianya. Itu sebabnya energi mereka terpelihara dengan baik. Terkadang mereka melakukan latihan layaknya pasukan terlatih, dengan batu dan parang saling baku hantam sesamanya. Tidak usah panik, inilah anak muda. Tanpa kelahi, mana mungkin palu mereka terlatih merobohkan pintu kekuasaan. Dengan kelahi, anak-anak muda itu telah menjadi generasi bunga dengan cara mereka sendiri. Sebab mereka percaya, kesantunan, senyuman, adat istiadat jongkok kemayu adalah feodalisme terselubung ala seberang pulau sana. Di kaki Dewi Celebes sana, mereka menolak untuk tertib. Sebab ketertiban hanyalah senda gurau penguasa mengatasi kepanikan.

Di Jakarta, jalanan bukan lagi milik anak muda apalagi mahasiswa. Kampus-kampus beraneka warna jaket mereka telah terhubung baik dengan industri televisi. Organisasi mahasiswa masih mengumpulkan massa, tetapi mereka tidak perlu lagi menyewa bus kota. Mereka masih mengenakan jaket almamater tetapi tidak lagi menantang teriknya mentari. Mahasiswa-mahasiswa Jakarta magang di televisi, menjadi massa bodoh yang senantiasa bergantian menjadi audiens talkshow televisi. Di kampus UI, yang jumlah mobil mahasiswanya lebih banyak dibanding total mahasiswa miskin yang kuliah, keseragaman menguntungkan penguasa. Bagi anak-anak mami itu, gerakan sosial adalan ancaman untuk kemapanan rutinitas mereka. Bocah-bocah yang tidak pernah beranjak dewasa itu itu dimanja oleh kampus. Mereka tidak perlu berdiskusi macam-macam, cukup main futsal saja di waktu senggang. Sebab di setiap fakultas tersedia lapangan futsal yang mungkin jadi mimpi bagi mahasiswa di kampus-kampus luar daerah. Beginilah cara kampus melayani anak-anak mami, dengan cara memaksa mereka tetap menjadi bocah-bocah mapan yang takut dengan jalanan.

Hari ini 9 Desember, karnaval besar di Jakarta. Di panggung jalanan, tidak tampak lagi anak-anak muda dengan jaket almamater. Orang-orang mengatakan, inilah kebangkitan kelas menengah melawan korupsi. Beginilah cara damai orang-orang muda menyampaikan sikap dan pendapat. Di tengah kerumunan massa, aktor-aktor kelas menengah ini dan tentu saja minus mahasiswa Jakarta di panggungnya, membacakan deklarasi. Mahasiswa Jakarta terbiasa menjadi penonton sebab mereka biasa dibayar oleh televisi. Tidak punya inisiatif dalam aksi, sebab mereka percaya belum saatnya menjadi bagian dari kelas menengah tercerahkan. Sementara aktor-aktor kelas menengah tidak bisa lagi dibilang muda, terlalu banyak rekam jejak yang perlu dipertanyakan, berkeluarga sehingga tidak berani ambil risiko apa-apa. Beginilah karnaval jalanan Jakarta, hanya pertunjukan televisi penuh sopan santun, tanpa gairah dimana peserta aksi sama takutnya dengan penguasa. Di Jakarta, penguasa dan penggugat dikalahkan oleh ketakutan mereka sendiri.

Tetapi di Makassar dimana istilah kelas menengah dan agen perubahan hanya milik mahasiswa; mereka menolak untuk takut. Di sana demonstrasi tidak pernah berubah menjadi karnaval. Tangan tidak boleh berhenti terkepal. Dan bila aparat keamanan telah menyiapkan tameng dan tongkat, itu artinya jangan pernah bermimpi untuk pulang di siang bolong. Mudah menuding aksi mereka rusuh, tidak terkendali, anarkis dan segala macam tudingan lainnya. Tetapi bukankah memang demikian tabiat anak muda, sedikit konyol tetapi penuh gairah. Dalam sistem sosial politik dimana semuanya terpusat di Jakarta maka daerah-daerah bahkan sebesar Makassar tidak pernah diisi oleh elit-elit yang diakui secara nasional. Semua elit berkumpul di Jakarta, mulai dari elit politik hingga pelacur kelas tinggi. Itu sebabnya panggung jalanan mereka tidak memberi ruang untuk orang-orang tua yang berusaha sok muda. Jalanan milik mahasiswa dan anak muda. Jaket-jaket almamater mereka tidak pernah wangi untuk acara televisi, mereka kumal dibakar terik mentari dan debu jalanan. Maka bila di Makassar sana, anak-anak muda masih berkelahi melawan ketertiban sambil sesekali memungut batu sebagai senjata; dengan semua kekonyolan mereka itulah anak muda –semuda-mudanya mereka-.

De Maccasare Zee Rovers, bajak laut Makassar, ungkapan ketakutan VOC pada Karaeng Galesong lebih dari 3 Abad yang lampau masih menjadi ketakutan penguasa pada masa sekarang. Di kampus-kampus Makassar sebagaimana pernah saya datangi, ragam kelas sosial latar belakang mahasiswa masih terjaga. Kampus masih menjadi tempat yang nyaman untuk menyampaikan gagasan dan bukan bermain futsal. Nyali mereka senantiasa terpelihara sebab mereka tahu, jauh dari pusat kekuasaan tidak satu kekuatan pun akan melindungi mereka. Di antara kegelisahan kita melihat mahasiswa-mahasiswa wangi dan centil yang berdandan menor mengendarai mobil orang tuanya, ada asa di timur sana. Jakarta mungkin saja tetap akan menjadi pusat kekuasaan tetapi rasa-rasanya tidak akan lagi pernah menjadi pusat perlawanan mahasiswa. Matahari terbit dari timur, perlawanan anak muda memberi cahaya dari ufuk sana. Makassar adalah kiblat gerakan mahasiswa Indonesia. Selamat tinggal mahasiswa Jakarta.

http://esito.web.id/2009/12/de-maccasare-zee-rovers-selamat-tinggal-jakarta/

  • Share/Bookmark

Tidak ada komentar: