Jumat, 11 September 2009




DRAFT
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGALISTRIKAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
KETENAGALISTRIKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa tenaga listrik mempunyai peran yang sangat penting dan strategis di dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional, maka usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai negara dan penyediaannya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, merata, dan bermutu;
c. bahwa penyediaan tenaga listrik bersifat padat modal dan teknologi, dan sejalan dengan semangat otonomi daerah, dan demokratisasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyediaan tenaga listrik perlu ditingkatkan;
d. bahwa di samping bermanfaat, tenaga listrik juga dapat membahayakan sehingga penyediaan dan pemanfaatannya harus memperhatikan aspek keselamatan ketenagalistrikan.
e. bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan keadaan, perubahan dalam kehidupan
masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG–UNDANG TENTANG KETENAGALISTRIKAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksudkan dengan:
1. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik.
2. Tenaga listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tidak meliputi tenaga listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau isyarat.
3. Penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan tenaga listrik mulai dari titik pembangkitan sampai dengan titik pemakaian.
4. Pemanfaatan tenaga listrik adalah penggunaan tenaga listrik mulai dari titik pemakaian.
5. Pembangkitan tenaga listrik adalah kegiatan memproduksi tenaga listrik.
6. Transmisi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari suatu sumber pembangkitan kepada suatu sistem distribusi atau kepada konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antarsistem.
7. Distribusi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari sistem transmisi atau dari sistem pembangkitan kepada konsumen.
8. Izin usaha penyediaan tenaga listrik adalah izin untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
9. Izin operasi adalah izin untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.
10. Usaha penunjang tenaga listrik adalah usaha yang menunjang penyediaan tenaga listrik.
11. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagalistrikan.
12. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Pembangunan ketenagalistrikan menganut asas manfaat, efisiensi, berkeadilan, kebersamaan, optimasi ekonomis dalam pemanfaatan sumber daya energi, berkelanjutan, percaya dan mengandalkan pada kemampuan sendiri, kaidah usaha yang sehat, keamanan dan keselamatan, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin tersedianya tenaga listrik dalam jumlah cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, serta mendorong peningkatan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan.
BAB III
PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN
Pasal 3
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara dan penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah.
(2) Dalam rangka penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik, pemerintah menetapkan kebijakan, melakukan pengaturan, pengawasan, dan usaha penyediaan tenaga listrik.
(3) Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh badan usaha milik negara yang didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam penyediaan tenaga listrik, sepanjang tidak merugikan negara kepada badan usaha milik daerah, swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik.
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah, dengan memperhatikan kemampuan yang dimiliki menyediakan dana pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik untuk membantu konsumen dan masyarakat tidak mampu.
BAB IV
PEMANFAATAN SUMBER ENERGI
UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK
Pasal 4
(1) Sumber daya alam yang merupakan sumber energi yang terdapat di seluruh wilayah Republik Indonesia dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk berbagai tujuan termasuk untuk menjamin keperluan pembangkitan tenaga listrik.
(2) Pemanfaatan sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik dilaksanakan seoptimal mungkin dengan memperhatikan keekonomiannya.
(3) Kebijakan penyediaan dan pemanfaatan sumber energi untuk pembangkitan tenaga listrik ditetapkan pemerintah dengan memperhatikan aspek keamanan, keseimbangan,
dan kelestarian fungsi lingkungan hidup dengan mengutamakan sumber energi terbarukan.
BAB V
RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN NASIONAL
Pasal 5
(1) Menteri menetapkan rencana umum ketenagalistrikan nasional.
(2) Dalam menyusun rencana umum ketenagalistrikan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri wajib mempertimbangkan masukan dari pemerintah daerah dan pendapat masyarakat.
BAB VI
USAHA KETENAGALISTRIKAN
Pasal 6
(1) Usaha ketenagalistrikan terdiri dari usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang tenaga listrik.
(2) Usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi jenis usaha:
a. pembangkitan tenaga listrik;
b. transmisi tenaga listrik;
c. distribusi tenaga listrik,
d. penjualan tenaga listrik,
e. agen penjualan tenaga listrik,
f. pengelola pasar tenaga listrik, dan/atau
g. pengelola sistem tenaga listrik.
(3) Usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara terintegrasi, gabungan dari beberapa jenis usaha, atau pada satu jenis usaha.
(4) Usaha penyediaan tenaga listrik secara terintegrasi, usaha transmisi tenaga listrik, usaha distribusi tenaga listrik, usaha penjualan tenaga listrik, usaha pengelola pasar tenaga listrik, dan usaha pengelola sistem tenaga listrik dilaksanakan dalam suatu daerah usaha.
(5) Daerah usaha untuk usaha penyediaan tenaga listrik secara terintegrasi ditetapkan oleh menteri.
Pasal 7
(1) Jaringan transmisi tenaga listrik untuk kepentingan umum bersifat terbuka.
(2) Menteri menetapkan jaringan transmisi tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagai jaringan transmisi nasional.
(3) Menteri menetapkan aturan jaringan transmisi tenaga listrik.
Pasal 8
(1) Badan usaha milik negara dan badan usaha lain mendapat hak kesempatan pertama untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik di daerah usahanya.
(2) Badan usaha milik negara dan badan usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah badan usaha milik negara dan badan usaha lain di bidang usaha penyediaan tenaga listrik.
(3) Dalam hal badan usaha milik negara dan badan usaha lain tidak menggunakan kesempatan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) usaha penyediaan tenaga listrik dapat dilakukan oleh badan usaha milik daerah, swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai pelaksanaan kesempatan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.
Pasal 9
(1) Pada wilayah yang memungkinkan secara teknis dan ekonomis, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dapat dilakukan berdasarkan persaingan sehat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik melalui persaingan sehat diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.
Pasal 10
(1) Usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) terdiri atas usaha jasa penunjang tenaga listrik dan industri penunjang tenaga listrik.
(2) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis usaha:
a. konsultansi dalam bidang tenaga listrik;
b. pembangunan dan pemasangan instalasi tenaga listrik;
c. pengujian instalasi tenaga listrik;
d. pengoperasian instalasi tenaga listrik;
e. pemeliharaan instalasi tenaga listrik;
f. penelitian dan pengembangan;
g. pendidikan dan pelatihan, dan/atau
h. jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan tenaga listrik.
(3) Industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis usaha:
a. Industri peralatan tenaga listrik; dan/atau
b. Industri pemanfaat tenaga listrik.
BAB VII
PERIZINAN
Pasal 11
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, swasta, dan swadaya masyarakat setelah mendapatkan izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai dengan jenis usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(2) Izin usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan setelah memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, dan kelengkapan izin dan persyaratan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Untuk usaha pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a atau usaha transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b, terlebih dahulu dikeluarkan izin prinsip sebelum diterbitkan izin usaha penyediaan tenaga listrik.
(4) Izin prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikeluarkan setelah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
Pasal 12
(1) Izin usaha penyediaan tenaga listrik dan izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diberikan masing-masing oleh:
a. menteri, untuk usaha penyediaan tenaga listrik yang:
1. terhubung baik langsung maupun tidak langsung dengan jaringan transmisi nasional,
2. daerah usahanya lintas provinsi,
3. menjual tenaga listrik kepada badan usaha milik negara, atau
4. dilakukan oleh badan usaha milik negara;
b. gubernur, untuk usaha penyediaan tenaga listrik yang daerah usahanya lintas kabupaten/kota yang tidak terhubung baik langsung maupun tidak langsung dengan jaringan transmisi nasional;
c. bupati/walikota, untuk usaha penyediaan tenaga listrik yang daerah usahanya dalam kabupaten/kota yang tidak terhubung baik langsung maupun tidak langsung dengan jaringan transmisi nasional.
(2) Dalam memberi izin, menteri, gubernur dan bupati/walikota memperhatikan masukan dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang memiliki daerah usaha setempat.
Pasal 13
(1) Penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dengan kapasitas 200 kVA atau lebih dapat dilaksanakan oleh instansi pemerintah/pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, swasta, swadaya masyarakat, dan perorangan setelah mendapatkan izin operasi.
(2) Izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan masing-masing oleh:
a. menteri, apabila fasilitas instalasinya mencakup lintas provinsi.
b. gubernur, apabila fasilitas instalasinya mencakup lintas kabupaten/kota; atau
c. bupati/walikota, apabila fasilitas instalasinya berada di dalam daerah kabupaten/kota.
(3) Izin operasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) dikeluarkan setelah memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis dan kelengkapan izin dan persyaratan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dengan kapasitas kurang dari 200 kVA diatur oleh menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam pemberian izin.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha penyediaan tenaga listrik dan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.
Pasal 15
(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, swasta, swadaya masyarakat, dan perorangan setelah mendapatkan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik.
(2) Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik yang berkaitan dengan jasa konstruksi dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan sertifikasi dalam undang-undang di bidang jasa konstruksi.
Pasal 16
(1) Izin usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dikeluarkan oleh bupati/walikota yang wilayahnya menjadi domisili badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, swasta, swadaya masyarakat, dan perorangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha jasa penunjang tenaga listrik diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.
Pasal 17
Pemberian izin usaha industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian.
BAB VIII
HARGA JUAL TENAGA LISTRIK
DAN SEWA JARINGAN
Pasal 18
(1) Harga jual tenaga listrik dan biaya penyediaan fasilitas untuk menjaga mutu dan keandalan diatur dan diawasi oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dalam pemberian izin usaha penyediaan tenaga listrik.
(2) Harga sewa jaringan tenaga listrik ditetapkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dalam pemberian izin usaha penyediaan tenaga listrik.
(3) Harga jual tenaga listrik untuk konsumen akhir diatur dan diawasi oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dalam pemberian izin usaha penyediaan tenaga listrik.
(4) Harga jual tenaga listrik untuk konsumen akhir tidak mampu ditetapkan oleh pemerintah.
(5) Harga jual tenaga listrik, harga jual tenaga listrik untuk konsumen akhir, harga sewa jaringan tenaga listrik, dan biaya penyediaan fasilitas untuk menjaga mutu dan keandalan dinyatakan dalam mata uang rupiah.
(6) Pemerintah atau pemerintah daerah dalam mengatur harga jual tenaga listrik, harga sewa jaringan, dan biaya penyediaan fasilitas untuk menjaga mutu dan keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. kepentingan nasional;
b. kepentingan konsumen;
c. kaidah-kaidah industri dan niaga yang sehat;
d. biaya produksi;
e. efisiensi pengusahaan;
f. kelangkaan dan sifat-sifat khusus sumber energi primer yang digunakan;
g. skala pengusahaan dan interkoneksi sistem yang dipakai;
h. biaya pelestarian fungsi lingkungan hidup;
i. kemampuan masyarakat; dan
j. mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik.
Pasal 19
Jual beli tenaga listrik dapat dilakukan antarnegara.
Pasal 20
Ketentuan mengenai harga jual tenaga listrik, harga sewa jaringan, dan biaya penyediaan fasilitas untuk menjaga mutu dan keandalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan jual beli tenaga listrik antarnegara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.
BAB IX
KESELAMATAN KETENAGALISTRIKAN
Pasal 21
(1) Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan.
(2) Keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi keselamatan instalasi, keselamatan dan kesehatan kerja, keselamatan umum, dan lindungan lingkungan.
(3) Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi.
(4) Setiap peralatan tenaga listrik yang Standard Nasional Indonesianya (SNI-nya) diberlakukan wajib, harus memenuhi SNI wajib dan dibubuhi tanda SNI setelah mendapatkan sertifikat produk.
(5) Setiap pemanfaat tenaga listrik yang Standard Nasional Indonesianya (SNI-nya) diberlakukan wajib, harus memenuhi SNI wajib dan dibubuhi tanda keselamatan setelah mendapatkan sertifikat produk.
(6) Setiap tenaga teknik dalam usaha ketenagalistrikan wajib memiliki sertifikat kompetensi.
(7) Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.
Pasal 22
(1) Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan di bidang lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK, PEMEGANG IZIN OPERASI, SERTA PEMEGANG IZIN USAHA PENUNJANG TENAGA LISTRIK DAN KONSUMEN
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Pemegang
Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
Pasal 23
(1) Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik berhak untuk:
a. melintas sungai atau danau baik di atas maupun di bawah permukaan;
b. melintas laut baik di atas maupun di bawah permukaan;
c. melintas jalan umum dan jalan kereta api;
d. masuk ke tempat umum atau perorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu;
e. menggunakan tanah, melintas di atas atau di bawah tanah;
f. melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah; dan
g. memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalanginya.
(2) Sebelum melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pihak yang berhak atas tanah, bangunan, dan/atau tanaman.
(3) Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 24
Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik juga berhak:
a. melakukan usaha sesuai dengan izin yang diberikan, dan
b. memperoleh pendapatan dari pembayaran harga jual tenaga listrik yang menjadi haknya.
Pasal 25
(1) Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib:
a. menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan secara terus-menerus;
b. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen dan memperhatikan hak-hak konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. memenuhi kebutuhan tenaga listrik dan/atau pelayanan jaringan tenaga listrik untuk konsumen dan masyarakat di daerah usahanya, bagi pemegang izin yang memiliki daerah usaha;
d. memenuhi kebutuhan jaringan tenaga listrik untuk konsumen dan masyarakat di wilayah usahanya, bagi pemegang izin yang memiliki daerah usaha;
e. menjamin kelangsungan pasokan tenaga listrik di dalam wilayah usahanya, bagi pemegang izin yang memiliki daerah usaha;
f. menyusun rencana usaha penyediaan tenaga listrik, bagi pemegang izin yang memiliki daerah usaha;
g. menyampaikan laporan yang ditetapkan oleh pemberi izin;
h. mengunakan peralatan tenaga listrik yang telah memenuhi persyaratan;
i. mempekerjakan tenaga teknik yang memiliki kompetensi yang disyaratkan;
j. memperhatikan keselamatan ketenagalistrikan yang meliputi keselamatan instalasi, keselamatan dan kesehatan kerja, keselamatan umum, dan lindungan lingkungan;
k. mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi setempat dan energi terbarukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
l. mengoptimalkan pemanfaatan proses teknologi yang bersih, ramah lingkungan dan efisien;
m. mengoptimalkan pemanfaatan barang, jasa, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
n. melakukan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik bertanggung jawab terhadap kelalaian yang mengakibatkan kerugian konsumen dan masyarakat.
Pasal 26
Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dilarang:
a. mendapatkan harga jual tenaga listrik yang bukan haknya, dan/atau
b. memberikan informasi palsu, kesaksian palsu, atau menahan informasi berkaitan dengan usaha penyediaan tenaga listrik yang merugikan kepentingan umum.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pemegang
Izin Operasi
Pasal 27
Pemegang izin operasi berhak melakukan kegiatan sesuai dengan izin yang diberikan.
Pasal 28
Pemegang izin operasi wajib :
a. menyampaikan laporan secara berkala;
b. melakukan pemeriksaan secara berkala terhadap instalasi tenaga listrik sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan ketentuan-ketentuan teknik, keamanan dan keselamatan serta fungsi lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 29
(1) Konsumen berhak untuk:
a. mendapat tenaga listrik yang menjadi haknya secara terus-menerus dengan mutu dan keandalan yang baik;
b. memperoleh tenaga listrik dengan harga yang wajar;
c. mendapat pelayanan yang baik, termasuk pelayanan pemeriksaan, perbaikan, penggantian instalasi dan peralatan penyediaan tenaga listrik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
d. mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai dengan syarat-syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.
(2) Masyarakat berhak mendapatkan tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.
(3) Konsumen mempunyai kewajiban:
a. mempergunakan peralatan dan pemanfaat listrik yang memenuhi standar;
b. melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;
c. menjaga keamanan instalasi tenaga listrik miliknya;
d. memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya; dan
e. membayar biaya yang terkait dengan pemakaian tenaga listrik sesuai dengan ketentuan atau perjanjian.
(4) Konsumen bertanggung jawab apabila karena kelalaiannya mengakibatkan kerugian pada pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.
(5) Konsumen dan masyarakat dilarang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya.
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik, pemegang izin operasi dan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Pemegang Izin Usaha
Penunjang Tenaga Listrik dan Konsumen
Pasal 31
(1) Pemegang izin usaha penunjang tenaga listrik berhak melakukan usaha sesuai dengan izin yang diberikan.
(2) Pemegang izin usaha penunjang tenaga listrik wajib:
a. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen dan memperhatikan hak-hak konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. mengunakan peralatan tenaga listrik yang telah memenuhi persyaratan; dan
c. mempekerjakan tenaga teknik yang memiliki kompetensi yang disyaratkan.
(3) Konsumen berhak mendapat pelayanan yang baik dari pemegang izin usaha penunjang tenaga listrik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban pemegang izin usaha penunjang tenaga listrik dan konsumen diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.
BAB XI
PEMANFAATAN JARINGAN TENAGA LISTRIK
UNTUK KEPENTINGAN LAIN
Pasal 32
(1) Jaringan tenaga listrik dapat dimanfaatkan untuk kepentingan di luar penyaluran tenaga listrik sepanjang tidak mengganggu penyaluran tenaga listrik.
(2) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan izin menteri.
(3) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.
BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 33
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha ketenagalistrikan sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. keselamatan ketenagalistrikan pada keseluruhan sistem penyediaan tenaga listrik;
b. pengembangan usaha;
c. optimasi pemanfaatan sumber energi setempat, termasuk pemanfaatan energi terbarukan;
d. aspek lindungan lingkungan;
d. pemanfaatan proses teknologi yang bersih, ramah lingkungan dan efisien;
e. pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, termasuk rekayasa dan kompetensi tenaga teknik;
f. keandalan dan kecukupan penyediaan tenaga listrik;
g. tercapainya standardisasi dalam bidang ketenagalistrikan; dan
h. pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat.
(3) Pelaksanaan pengawasan keselamatan ketenagalistrikan dilakukan oleh inspektur ketenagalistrikan.
BAB XIII
PENYIDIKAN
Pasal 34
(1) Selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik pegawai negeri sipil di bidang ketenagalistrikan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan usaha yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;
d. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;
e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha ketenagalistrikan dan menghentikan
penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha ketenagalistrikan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti; dan
g. mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan perkara pidana kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XIV
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 35
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 36
(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berupa pencabutan izin.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
(3) Tata cara pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 37
(1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tanpa izin usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri tanpa izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(4) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik tidak memenuhi ketentuan Pasal 23 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(5) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dapat dikenakan sanksi tambahan berupa pencabutan izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi.
Pasal 38
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dipidana paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan usaha ketenagalistrikan tanpa sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (6) dipidana paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 39
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 26 huruf a atau Pasal 29 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 26 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan rusaknya instalasi tenaga listrik milik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sehingga mempengaruhi kelangsungan penyediaan tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan terputusnya aliran listrik sehingga merugikan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 40
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan matinya seseorang karena tenaga listrik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Apabila kelalaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik, pemegang Izin operasi, dan pemegang izin usaha penunjang tenaga listrik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik, pemegang izin operasi, dan pemegang izin usaha jasa penunjang tenaga listrik, juga diwajibkan untuk memberi ganti rugi.
(4) Penetapan, tata cara, dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 41
Setiap orang yang memproduksi, mengedarkan, atau memperjualbelikan peralatan listrik yang tidak memiliki tanda standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (4), dan pemanfaat listrik yang tidak memiliki tanda keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 42
Setiap orang yang memanfaatkan jaringan tenaga listrik tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 43
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha dan/atau pengurusnya.
(2) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh badan usaha, pidana yang dijatuhkan kepada badan usaha berupa pidana denda, dengan ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiganya.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 44
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku:
a. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) harus memiliki izin usaha penyediaan tenaga lsitrik paling lambat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun;
b. Izin usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum yang telah dikeluarkan tetap berlaku sampai habis masa berlakunya;
c. Izin usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan sendiri yang telah dikeluarkan tetap berlaku sampai habis masa berlakunya; dan
d. Izin usaha penunjang tenaga listrik yang telah dikeluarkan tetap berlaku sampai habis masa berlakunya.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
b. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 46
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
HAMID AWALUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
KETENAGALISTRIKAN
I. UMUM
Pembangunan sektor ketenagalistrikan bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional, yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tenaga listrik, sebagai salah satu hasil pemanfaatan
kekayaan alam, mempunyai peranan penting bagi negara dalam mewujudkan pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Mengingat arti penting tenaga listrik bagi negara dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat modern dalam segala bidang maka sejalan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang ini menyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai negara dan ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Atas dasar penguasaan dimaksud dengan memperhatikan kemampuan yang dimilikinya, negara menyediakan kebutuhan pokok tenaga listrik bagi masyarakat. Negara menetapkan kebijakan, melakukan pengaturan, pengurusan, pengawasan, dan pengelolaan dalam penyediaan tenaga listrik.
Pemerintah menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga listrik yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha milik negara. Untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam penyediaan tenaga listrik, sepanjang tidak merugikan negara, undang-undang ini memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada badan usaha milik daerah, koperasi, dan swasta, dan swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Di samping itu, undang-undang ini juga mengakomodasi kemungkinan penerapan persaingan sehat dalam usaha penyediaan tenaga listrik pada wilayah yang telah memenuhi syarat secara teknis dan ekonomis.
Keberadaan dan partisipasi badan usaha tersebut dalam penyediaan tenaga listrik dan penerapan persaingan sehat merupakan sarana bagi negara untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik bagi masyarakat. Partisipasi swasta dan penerapan persaingan sehat dilaksanakan dalam kerangka memperkuat kemampuan negara dalam penyediaan tenaga listrik, oleh karena itu, demi kepentingan negara, negara tetap berwenang untuk mengambil alih penyediaan tenaga listrik yang dilakukan oleh badan usaha milik daerah, koperasi, swasta, dan swadaya masyarakat dengan cara-cara yang adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Negara juga berwenang mengambil tindakan yang diperlukan manakala terjadi distorsi atau ketidakadilan dalam penerapan persaingan sehat dimaksud.
Undang-undang ini mengamanatkan bahwa semua usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dilakukan berdasarkan izin usaha penyediaan tenaga listrik sehingga tidak dikenal lagi istilah Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan. Izin usaha penyediaan tenaga listrik, sesuai dengan semangat otonomi daerah, diberikan oleh pemerintah, dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Selain bermanfaat, tenaga listrik juga dapat membahayakan. Untuk lebih menjamin keselamatan umum, keselamatan dan kesehatan kerja, keamanan instalasi dan kelestarian fungsi lingkungan dalam penyediaan tenaga listrik dan pemanfaatan tenaga listrik, instalasi tenaga listrik harus didukung oleh peralatan dan perlengkapan listrik yang memenuhi standar peralatan di bidang
ketenagalistrikan, dibangun dan dioperasikan oleh tenaga teknik yang memenuhi standar kompetensi yang dipersyaratkan.
Dalam rangka menunjang kelancaran berusaha, undang-undang ini memberi hak kepada pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk masuk ke tempat umum atau perorangan, menggunakan tanah, melintas di atas atau di bawah tanah dan bangunan, dan memotong atau menebang tumbuh-tumbuhan yang pelaksanaannya memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam undang-undang ini selain diatur hak dan kewajiban pengusaha dan konsumen yang mengunakan tenaga listrik, juga diatur kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan, termasuk pelaksanaan pengawasan di bidang keselamatan yang dilakukan inspektur ketenagalistrikan.
Dalam rangka terselenggaranya penegakan hukum di bidang ketenagalistrikan dan dengan mempertimbangkan aspek teknis ketenagalistrikan, selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia diberi wewenang kepada penyidik pegawai negeri sipil di bidang ketenagalistrikan untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Mengingat tenaga listrik merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Dana pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik digunakan untuk subsidi pemakaian tenaga listrik bagi konsumen dan masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang, pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil, pembangunan listrik perdesaan, dan percepatan pembangunan secara umum.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sumber energi terbarukan terdiri dari, antara lain, tenaga air, angin, surya, panas bumi, dan biomas.
Pasal 5
Ayat (1)
Rencana umum ketenagalistrikan nasional merupakan kebijakan umum di bidang ketenagalistrikan yang mencakup antara lain, prakiraan kebutuhan dan penyediaan tenaga listrik, rencana jaringan transmisi, kebutuhan investasi dan pendanaan, kebijakan pemanfaatan sumber energi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan terintegrasi adalah usaha penyediaan tenaga listrik gabungan mulai dari usaha pembangkitan sampai dengan usaha penjualan yang dilakukan oleh satu badan usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penetapan daerah wilayah usaha dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindih antara daerah usaha suatu perusahaan.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud “bersifat terbuka” adalah jaringan transmisi tenaga listrik yang dimiliki oleh suatu badan usaha dapat digunakan oleh badan usaha lain berdasarkan kesepakatan.
Ayat (2)
Jaringan transmisi nasional adalah jaringan transmisi tegangan tinggi, ekstratinggi, dan/atau ultratinggi untuk menyalurkan tenaga listrik bagi kepentingan umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peraturan pemerintah memuat, antara lain, syarat-syarat untuk penerapan persaingan sehat, pengaturan harga jual tenaga listrik, larangan penguasaan pasar, dan lembaga pengatur dan pengawas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Izin usaha penyediaan tenaga listrik memuat paling sedikit nama dan alamat badan usaha, jenis usaha yang diberikan, kewajiban dalam penyelenggaraan usaha, syarat-syarat teknis, dan ketentuan sanksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “terhubung langsung” adalah secara fisik terhubung dengan jaringan transmisi nasional. Sedangkan “terhubung tidak langsung” adalah secara fisik terhubung dengan jaringan tegangan menengah atau tegangan rendah yang terinterkoneksi dengan jaringan transmisi nasional.
Ayat (2)
Masukan dimaksud adalah berkaitan dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di daerah usahanya.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kepentingan sendiri adalah penyediaan tenaga listrik untuk digunakan sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Peraturan pemerintah memuat antara lain, persyaratan untuk mendapatkan izin, tata cara permohonan dan pemberian izin, dan ketentuan sanksi administratif.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud perorangan adalah perorangan warga negara Indonesia.
Izin usaha jasa penunjang tenaga listrik memuat paling sedikit nama dan alamat badan usaha, jenis usaha yang diberikan, klasifikasi usaha, kewajiban dalam penyelenggaraan usaha, syarat teknis, dan ketentuan sanksi administratif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peraturan pemerintah memuat antara lain, persyaratan untuk mendapatkan izin, tata cara permohonan dan pemberian izin, serta ketentuan sanksi administratif.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Harga jual dimaksud termasuk tetapi tidak terbatas pada harga jual tenaga listrik, harga sewa pembangkit, biaya operasi, biaya pemeliharaan, atau biaya bahan bakar.
Ayat (2)
Harga sewa dimaksud termasuk tetapi tidak terbatas pada harga sewa jaringan tenaga listrik, biaya operasi, atau biaya pemeliharaan.
Ayat (3)
Harga jual tenaga listrik untuk konsumen akhir terdiri dari biaya beban (Rp/kVA) dan biaya pemakaian (Rp/kWh), dibayar berdasarkan harga langganan (Rp/bulan) sesuai dengan batasan daya yang dipakai, atau bentuk lainnya. Khusus untuk konsumen industri dan komersial, selain biaya beban dan biaya pemakaian, dapat mencakup biaya pemakaian daya reaktif (Rp/kVArh) dan biaya kVA maksimum.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan konsumen akhir tidak mampu adalah golongan konsumen yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai konsumen tidak mampu.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Keselamatan ketenagalistrikan bertujuan untuk mewujudkan kondisi andal dan aman bagi instalasi dan kondisi aman dari bahaya bagi manusia serta kondisi ramah lingkungan.
Ayat (2)
Di samping untuk keamanan instalasi tenaga listrik, keselamatan ketenagalistrikan dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada masyarakat untuk mendapatkan rasa aman, rasa nyaman, dan kesehatan serta kelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai dengan standar yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pemanfaat tenaga listrik adalah semua produk atau alat yang dalam pemanfaatannya menggunakan tenaga listrik untuk berfungsinya produk atau alat tersebut.
Ayat (6)
Tenaga listrik mempunyai potensi bahaya bagi keselamatan manusia sehingga pembangunan dan pengoperasian instalasi tenaga listrik harus dilakukan oleh tenaga teknik yang memenuhi standar kompetensi yang dipersyaratkan.
Ayat (7)
Peraturan pemerintah ini memuat substansi pokok mengenai ketentuan antara lain, pemanfaatan tenaga listrik, instalasi tenaga listrik, tenaga teknik, pengujian, inspeksi, sertifikasi, pembinaan dan pengawasan, serta sanksi administrasi.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan standar mutu dan keandalan adalah persyaratan teknis antara lain, tentang tegangan, frekuensi, dan kesinambungan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas .
Huruf n
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik baik untuk diperjualbelikan atau dipakai sendiri.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “harga yang wajar” adalah harga pada tingkat keekonomiannya antara lain, dengan mempertimbangkan biaya investasi, biaya operasi dan keuntungan yang wajar/tidak mengandung unsur eksploitasi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan konsumen dalam ayat ini adalah setiap orang atau badan yang memanfaatkan jasa dari pemegang izin usaha jasa penunjang tenaga listrik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Dengan berkembangnya teknologi, jaringan tenaga listrik dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain selain penyaluran tenaga listrik, antara lain, untuk mentransmisikan data, internet, multimedia, dan telekomunikasi.
Ayat (2)
Dalam mengeluarkan izin, menteri memperhatikan masukan dari pemilik jaringan.
Ayat (3)
Peraturan menteri memuat antara lain, persyaratan, perizinan, tata cara permohonan dan pemberian izin, hak dan kewajiban, dan sanksi administratif.
Pasal 33
Ayat (1)
Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui antara lain, pengendalian, bimbingan, dan penyuluhan serta pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat antara lain, tata cara menyampaikan peringatan tertulis dan pencabutan izin.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dan pemegang izin operasi tetap diwajibkan untuk mengadakan penyelesaian dengan pihak yang berhak atas tanah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR…………….

Tidak ada komentar: